Gambar: Krakatao menjelang meletus.
Bulan Agustus 127 tahun yang lalu adalah bulan penuh duka. Sekira 30.000 orang disekitar Selat Sunda mengalami bencana yang sangat dahsyat dengan meletusnya G. Krakatau. Gunung yang terletak di bawah laut di selat itu merupakan gunung aktif yang menarik perhatian dunia. Sejak Mei 1883 Krakatau telah menunjukkan kegiatan yang terus bertambah. Menurut Neumann van Padang, pada bulan tersebut telah terjadi letusan yang menyemburkan awan debu dan uap air setinggi 1100 meter.
Mula-mula kegiatannya dari kawah Perbuatan, lalu menyusul ke kawah lainnya. Kemudian pada Senen 27 Agustus 1883, Krakatau meletus dan menyemburkan ejecta (ejekta)yaitu debu dan batu apung ke angkasa (Gambar, cat air S. Angudi). Letusan itu berasal dari kawah pusat, kawah parasiter dan kawah di bawah muka laut. Menurut K. Kusumadinata, seorang vulkanolog, ejekta yang dilemparkan sebanyak 18 km kubik setinggi 80 km. Bunyi letusan terdengar di Australia dan Singapura. Debu yang dilontarkan ke angkasa menutup sinar matahari dan mendinginkan bumi.
Majalah National Geographic di Amerika Serikat mencatat penurunan suhu bumi karena letusan tersebut. Letusan Krakatau merupakan nomor tiga di dunia dalam jumlah ejekta yang disemburkan ke angkasa. Yang pertama adalah letusan G. Tambora juga gunung api Indonesia yang pada tahun 1815 melontarkan 80 km kubik ejekta.Letusan ini mendinginkan bumi sehingga pada tahun 1816 disebut a year without summer di Amerika Serikat. Nomor dua adalah letusan gunung Mazama di Jepang yang pada tahun 4600 sebelum Masehi memuntahkan 42 km kubik ejekta.Pada letusan Krakatau ini,awan debu bukanlah satu-satunya sumber bencana. Karena kawah yang meletus berada di bawah laut, air laut yang bergejolak dapat menyebabkan gelombang tsunami yang menerjang pantai-pantai di sekitarnya. Dengan runtuhnya dinding kawah dasar laut, terbentuklah lubang kawah besar yang disebut kaldera. Air laut yang membanjiri kaldera dan mengisinya dengan arus yang deras dan banyak menyebabakan terjadinya gelombang setinggi 30 meter menerjang pantai Banten dan Lampung. Sebuah kapal uap yang sedang berlayar di Selat Sunda Berouw didamparkan di hutan sejauh tiga kilometer dari pantai. Rel kereta api di pantai Banten terpilin menjadi spiral-spiral laksana mainan anak-anak. Bangkai-bangkai binatang ternak, binatang liar dan manusia tersangkut padanya. Wisatawan yang tidak tahu sejarahnya saat ini akan bertanya kalau melihat manara lampu suar yang berada jauh dari bibir pantai.
Semoga petugas dari Direktorat Vulkanologi yang memantau gunung-gunung api di Indonesia mendapat peralatan yang cukup dan gaji yang memadai agar mereka tetap dapat memusatkan perhatian dan tetap sehat dalam menjalankan tugasnya di tempat yang sepi dan penuh bahaya. Pemantauan yang teliti dapat menghindarkan korban manusia yang lebih banyak***
Salam untuk semua pembaca
Bahan:Catalogue of References on Indonesian Volcanoes with Eruptions in Historical Time/Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Direktorat Vulkanologi; National Geographic.
Ketik Sardjono Angudi pada Google untuk membaca cerita lainnya dari jongki.angudi@gmail.com